Suatu
hari aku pergi bersama kekasihku ke sebuah karnaval tidak jauh dari komplek
kami. Setelah menaiki beberapa wahana, hana, kekasihku menunjuk salah satu stan
yang tampak begitu sepi. Bahkan lebih sepi dari toilet umum di sini. Seseorang
berpakaian aneh menunggui stan itu. Di hadapannya ada bola kristal yang
seolah-olah berisi semesta di dalamnya, berputar dan sempat membuatku terpaku
beberapa saat.
Hana
minta di ramalkan tentang hubungan kami. Aku orang nya amat sangat skeptis,
jadi tidak percaya hal hal begini. Tapi ini permintaan hana. Pertama-tama dia
bilang jika dua bulan lagi kami akan menikah. Aku menggeleng, biaya dari mana
–sementara tabungan ku saja baru cukup untuk biaya resepsi. Dia berkata jika aku
bakal punya lamborghini, aku kembali menggeleng. Dia berkata jika bakal ada
konsekuensi besar dari kekayaanku yang drastis, itu hanya mengambil satu tapi
cukup untuk membuatku mati, aku mulai serius memperhatikannya.
Dia
menatapku, “hidupmu akan semakin bahagia jika kau berhasil menghadapi
kehilangan-kehilanganmu. Kamu juga akan memiliki anak kembar” hana melonjak
kegirangan mendengar hal itu. Dia terdiam dan mengangguk. Hana memberinya dua
puluh ribuan dan memasukannya ke toples kacanya. Tapi tepat saat kami berbalik
hendak pergi, peramal itu menarik tanganku sementara hana berjalan menjauh. Aku
menoleh gusar, tapi perempuan itu tampaknya serius “ada satu saat di mana
anak-anakmu berebut boneka anak perempuan berkuncir dua, berikan itu pada
anakmu yang paling jutek dan menyebalkan, karena kalau tidak” dia tidak
melanjutkan kata-katanya. Dia melepas cengkraman tangannya dan membiarkanku
pergi.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, di lapangan parkir aku menemukan sebuah koper hitam
berisi lembaran seratus ribuan yang banyak sekali. Mungkin itulah yang
membuatku kaya. Tapi aku berusaha memungkiri ramalan itu, jadi agar meleset
kuberikan koper tersebut ke kantor polisi. Tak disangka ternyata si empunya
koper adalah bos besar pemilik perusahaanku. Dia berkata sulit sekali menemukan
orang jujur di zaman sekarang. Dia menaikan pangkatku yang hanya karyawan biasa
menjadi manajer.
Gajiku
sebulan sudah lebih dari cukup untuk biaya menikah. Beberapa minggu kemudian
aku menikah dengan hana. Perhitungan sama persis, dua bulan setelah aku pergi
ke si peramal. Tapi ini bukan berarti aku menerima mentah-mentah ramalannya,
bisa saja ini cuma kebetulan. Pada pernikahanku, kami menaiki lamborghini
–hadiah dari direktur perusahaan untukku.
Beberapa
minggu kemudian aku dapat kabar jika hana tengah mengandung. Namun malamnya aku
malah mendapat kabar dari rumah ibuku, bahwa ibu terpeleset di kamar mandi
–kepalanya terbentur. Aku pulang ke sana seminggu sekali. Tapi karena hal itu
aku minta izin pada direktur untuk pulang lebih awal. Aku pulang saat itu juga.
Di jalan menuju ke sana aku menabrak seekor burung gagak yang entah kenapa bisa
ada di depan kaca mobilku. Aku turun untuk mengeceknya sebentar tapi mayat
burung itu entah terpental kemana.
Ibu
sudah dilarikan ke rumah sakit di kota. Aku sampai di area rumah sakit dan
tergopoh-gopoh turun dari mobil. Menunggu di lift dan mondar mandir karena
waktu rasanya lambat sekali. Saat keluar lift aku melihat di ujung lorong, adik
adikku sedang termenung. Pada saat itu juga pintu di ujung lorong terbuka lebar
sekali, usungan keluar dan di atasnya seseorang terbaring, tertutup sepenuhnya
oleh kain putih.
Ini
sebabnya aku benci sekali peramal. Aku meminta izin untuk libur beberapa hari.
Aku menginap di rumah ibuku sementara hana pulang ke rumah orang tuanya, karena
aku bilang padanya, aku sedang butuh waktu sendiri. Aku masih sering melihat
ibu mondar mandir di lorong rumah ini. Mengetuk pintu kamar kami satu persatu
dan berkata jika makan malam sudah siap. Aku rindu saat saat itu. Di mana pintu
pintu kamar kami digedor karena kesiangan masuk sekolah. Di pukuli pakai
sebatang lidi karena tidak mengerjakan PR. Wajar saja, karena ibuku adalah
seorang guru. Karena hal hal itulah aku mengingat ibu hampir di setiap
kegiatanku. Ibu selalu melarang kami bersendawa dengan mulut terbuka. Malam itu
saat kami nujuh harian ibu, aku tidak sengaja sendawa sehabis makan. Kepalaku
rasanya di pukul dari belakang, entah oleh siapa. Mungkin itu ibu.
Aku
masih sering melihat ibu masak di dapur pagi sekali. Menjemur pakaian-pakaian
kami, merajut di ruang tamu sambil mendengarkan radio usangnya –aku masih
sering melihatnya menata bingkai-bingkai foto pernikahannya dengan ayahku.
Dia
perempuan tangguh, ayah meninggal saat
aku berumur dua belas –meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itu aku
mesti membantu ibu karena adik-adikku masih sangat kecil. Ibu tetaplah pahlawan
bagiku, karena dia yang paling keras berjuang. Aku hanya ingin membalas budi.
Kalau aku mesti menjual nyawaku untuk membawanya hidup kembali pasti akan
kutukar nyawa ini.
Sepanjang
sisa hidupku ini sudah tidak berguna lagi. Tujuanku hanya membahagiakan ibu
tapi sekarang itu lenyap begitu saja. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan
hampir seratus duapuluh, rasanya hampir terbang. Tapi kemudian aku mengingat
hana. Kuinjak rem sedalam dalamnya hingga belakang mobilku terangkat, tepat di
depanku –tikungan tajam dan aku selamat.
Setelah
kematian ibu, kupikir hidupku bakal semakin kosong tapi itu berubah ketika
kedua anakku lahir. Kuberi ia nama mawar dan melati karena mereka berdua
perempuan. Anak anakku sungguh lucu tapi ada beberapa perbedaan yang cukup
signifikan yang aneh menurutku untuk ukuran anak kembar. Mawar cenderung lebih
cantik dan lucu tapi dia jarang bersuara. Beda dengan melati yang tidak begitu
lucu namun sangat rewel dan sangat sering menangis.
Ketika
beranjak ke dua belas tahun, mawar benar-benar menjelma menjadi seorang gadis
cantik. Namun berbeda jauh dengan sikapnya, dia sering keluar malam tanpa
sepengetahuanku. Dia juga sering berbohong dan membangkang. Pernah sekali aku
mau menamparnya karena dia membentak dan berkata kotor pada ibunya, kalau saja
melati tidak menangkap tanganku –mawar mungkin sudah kena tamparanku.
Ada
satu hal yang baru kuingat dari si peramal. Masih ada satu ramalan lagi.
Awalnya aku memang tidak begitu percaya, sampai sekarangpun masih. Tapi aku
sedikit percaya.
Suatu
malam aku menemukan sebuah boneka di perjalanan pulang kerja. Boneka perempuan
berkuncir dua. Sesampai di rumah, aku memasukannya ke mesin cuci. Paginya aku
terlonjak karena istriku teriak-teriak, dia sedang mencoba menghentikan
anak-anakku yang sedang berebut boneka. Setelah kulirik, itu adalah boneka
semalam –aku merampasnya. Mawar melompat lompat berusaha menggapai tapi aku mengangkat boneka itu tinggi-tinggi,
melati juga ikut lompat. Tidak biasanya melati begini, dia selalu mengalah yang
kutahu. Aku menyuruh mereka diam.
Mawar
tampak begitu kesal tapi melati memandangku penuh belas kasih, dia memohon.
Mawar memalingkan muka dan menggerutu. Aku memberikan boneka itu pada melati,
dia terlihat sangat senang. Sepanjang sisa hari itu melati bermain bersama
boneka berkuncir dua itu. Aku amat bahagia melihatnya. Tapi sepanjang hari itu
juga aku tidak melihat mawar. Terakhir, dia mengumpat padaku yang tidak
memberinya boneka. Membanting pintu di depan wajah hana lalu dia menaiki sepeda
entah pergi kemana.
Jam
berganti ke hari, kami semakin khawatir dan melapor ke kantor polisi. Hampir
semua teman mawar sudah kami hubungi dan hasilnya nihil. Selama beberapa minggu
aku tidak bisa konsentrasi bekerja karena memikirkan mawar. Aku sering bermimpi
buruk, bangun di tengah malam sambil meneriakan nama ‘Mawar’. Aku sering
mendapat mimpi buruk seperti menemukan mawar hanyut di sungai, di mutilasi
bahkan di kubur hidup-hidup. Karena pergaulan anak zaman sekarang benar-benar
mengkhawatirkan dan seharusnya aku bisa membimbingnya dengan lebih baik lagi.
Sudah
dua bulan berlalu sampai seorang polisi bertengger di serambi rumah kami, aku
pulang terburu-buru karena melati menelponku. Hana terbaring di balai, melati
masih sesenggukan sambil memangku kepala ibunya. Aku sudah tidak bisa berkata
apa-apa, polisi itu menunduk dan mulai menuturkan sesuatu padaku. Hanya
beberapa kata yang kudengar, selanjutnya cuma bunyi denging panjang –tidak
terdengar suara apa-apa lagi. Mawar di temukan OD di sebuah rumah kosong.
Di
hari pemakaman mawar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengadzaninya sambil
terisak-isak, aku mendengar saat itu burung-burung gagak berkoak. Sampai sore
seluruh orang sudah pulang, aku masih bersimpuh di depan makamnya. Tidak ada
lagi yang bisa ku lakukan. Entah kenapa setelah hari itu, aku semakin sering
melihat burung gagak. Tadinya kupikir cuma halusinasi. Tapi barusan aku
menembak salah satunya, sedang bertengger di pohon ceri. Melati melihatnya dan
bertanya “Kenapa ayah menembak burung itu?” begitu lugu dan polos.
Singkatnya
semua semakin memburuk. Kenapa bisa? tentu saja bisa. Ada banyak hal datang
membahagiakan hidupku. ‘Tapi cukup butuh
satu untuk membuatku mati’. Aku pernah mendengar kata-kata itu rasanya,
tapi entah di mana. Semua bermulai ketika hana terlihat sering merenung. Aku
sangat khawatir tapi beberapa hari kemudian dia kembali normal. Namun dia
memanggil melati dengan sebutan ‘Mawar’. Hana semakin sering melakukannya, sampai
aku mesti bicara pada melati agar bersedia di panggil mawar sementara waktu.
Tahun-tahun
berganti dan melati beranjak dewasa. Saat itu acara pesta ulang tahun ke tujuh
belasnya. Di depan semua temannya melati di panggil ‘Mawar’. Melati tidak
terima dan langsung menyanggah, “Ibu, ini aku Melati! ME-LA-TI!!”. Tiba-tiba
raut wajah hana berubah. Dia menjambak melati di depan teman-temannya “Lalu
mana Mawarku? mana Mawar?!”. Sepanjang sisa malam itu hanya keheningan. Pesta
bubar saat itu juga, hana mengurung diri di kamar. Melati menangis hampir
semalaman dan dia terus mengeluh.
“Aku
tidak bisa terus melakukan ini, tidak bisa ayah. Sebentar lagi aku akan masuk
kuliah, bagaimana jika nanti teman-teman ku datang ke rumah dan ibu...” dia
kembali menangis, aku memeluknya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Keesokan
paginya aku berangkat kerja, tidak ada koak gagak ataupun langit mendung yang
seolah-olah menandakan sial. Namun telponku berdering sekitar pukul 13.00, aku
mengangkatnya.
“Maaf
bapak sebelumnya jika kami telat memberi tahu. Kejadian ini begitu tiba-tiba
dan kami mesti bergegas menuju rumah anda siang tadi...” selebihnya dia bicara
panjang lebar mengulur waktu, berusaha menenangkanku –tapi sudahlah, ini telah
terjadi.
Melati
menelpon ke kantor polisi karena hana berusaha membunuhnya. Melati di tikam
berkali-kali dan setelah membunuh melati, hana menggantung dirinya. Aku sudah
hancur. Aku berdiri di tepi atap gedung kantorku, angin menghempas dari bawah.
Ini akhirnya, ternyata memang benar –aku benci peramal.
...
Dia
mencengkram erat tanganku “Bagaimana, apa kamu masih mau memberikan boneka itu
padanya?” suara peramal itu begitu lirih dan parau. Aku menggeleng. Dia
tersenyum sambil melepas cengkramannya perlahan. Aku tidak menyangka yang
barusan itu begitu nyata. Bagaimana jika kali ini uang di kopernya ku ambil
saja ya.