Rabu, 14 November 2018

Kata ibu...




- Aku baru tahu keanehan ini, ketika meraba kepala istriku saat tidur. Ada ujung paku tertancap di balik rambutnya, semakin aku meraba semakin istriku terkikik.


- Kata Ibu, rumah sebrang jalan sudah tidak berpenghuni. Tapi barusan jendelanya terbuka dan seseorang melompat keluar, putih tinggi, rambutnya berantakan dan dia terbang ke arah kamarku.


- Hal yang paling aneh di rumahku adalah kucingku, ia selalu menatap jendela yang terbuka. Barangku hilang satu persatu, sampai akhirnya kucingku terjatuh miring seperti patung.


- Aku tidak tahu siapa yang mengetuk pintu kamar barusan, sebab aku sendirian di rumah. Tapi sekarang itu mengetuk jendela, lalu mengetuk langit-langit -mati lampu, sesuatu mendengus di belakangku.


- Jam tiga aku bangun, pintu lemari berkeriut, sesuatu bertaring merangkak lalu melompat keluar dari lemariku. Aku terbangun karena tadi hanya mimpi, sekarang baru jam dua lewat lima puluh sembilan dan lemariku mulai berkeriut.


- Barusan aku melihat wajah di ventilasiku, padahal letaknya di atas pintu. Barusan juga aku melihatnya menjulurkan tangan dari lubang ventilasi dan membuka selot pintuku dari dalam.


- Saat menyetir di tol, aku masuk terowongan dan melihat seorang gadis berdiri di tepi jalan -dan aku melihat nya lagi, dan lagi dan lagi dan lagi. Aku keluar terowongan tapi di depan sudah ada terowongan lagi, ada pekikan kecil di atap mobilku.

Kata Peramal



Suatu hari aku pergi bersama kekasihku ke sebuah karnaval tidak jauh dari komplek kami. Setelah menaiki beberapa wahana, hana, kekasihku menunjuk salah satu stan yang tampak begitu sepi. Bahkan lebih sepi dari toilet umum di sini. Seseorang berpakaian aneh menunggui stan itu. Di hadapannya ada bola kristal yang seolah-olah berisi semesta di dalamnya, berputar dan sempat membuatku terpaku beberapa saat.

Hana minta di ramalkan tentang hubungan kami. Aku orang nya amat sangat skeptis, jadi tidak percaya hal hal begini. Tapi ini permintaan hana. Pertama-tama dia bilang jika dua bulan lagi kami akan menikah. Aku menggeleng, biaya dari mana –sementara tabungan ku saja baru cukup untuk biaya resepsi. Dia berkata jika aku bakal punya lamborghini, aku kembali menggeleng. Dia berkata jika bakal ada konsekuensi besar dari kekayaanku yang drastis, itu hanya mengambil satu tapi cukup untuk membuatku mati, aku mulai serius memperhatikannya.

Dia menatapku, “hidupmu akan semakin bahagia jika kau berhasil menghadapi kehilangan-kehilanganmu. Kamu juga akan memiliki anak kembar” hana melonjak kegirangan mendengar hal itu. Dia terdiam dan mengangguk. Hana memberinya dua puluh ribuan dan memasukannya ke toples kacanya. Tapi tepat saat kami berbalik hendak pergi, peramal itu menarik tanganku sementara hana berjalan menjauh. Aku menoleh gusar, tapi perempuan itu tampaknya serius “ada satu saat di mana anak-anakmu berebut boneka anak perempuan berkuncir dua, berikan itu pada anakmu yang paling jutek dan menyebalkan, karena kalau tidak” dia tidak melanjutkan kata-katanya. Dia melepas cengkraman tangannya dan membiarkanku pergi.

Beberapa hari setelah kejadian itu, di lapangan parkir aku menemukan sebuah koper hitam berisi lembaran seratus ribuan yang banyak sekali. Mungkin itulah yang membuatku kaya. Tapi aku berusaha memungkiri ramalan itu, jadi agar meleset kuberikan koper tersebut ke kantor polisi. Tak disangka ternyata si empunya koper adalah bos besar pemilik perusahaanku. Dia berkata sulit sekali menemukan orang jujur di zaman sekarang. Dia menaikan pangkatku yang hanya karyawan biasa menjadi manajer.

Gajiku sebulan sudah lebih dari cukup untuk biaya menikah. Beberapa minggu kemudian aku menikah dengan hana. Perhitungan sama persis, dua bulan setelah aku pergi ke si peramal. Tapi ini bukan berarti aku menerima mentah-mentah ramalannya, bisa saja ini cuma kebetulan. Pada pernikahanku, kami menaiki lamborghini –hadiah dari direktur perusahaan untukku.

Beberapa minggu kemudian aku dapat kabar jika hana tengah mengandung. Namun malamnya aku malah mendapat kabar dari rumah ibuku, bahwa ibu terpeleset di kamar mandi –kepalanya terbentur. Aku pulang ke sana seminggu sekali. Tapi karena hal itu aku minta izin pada direktur untuk pulang lebih awal. Aku pulang saat itu juga. Di jalan menuju ke sana aku menabrak seekor burung gagak yang entah kenapa bisa ada di depan kaca mobilku. Aku turun untuk mengeceknya sebentar tapi mayat burung itu entah terpental kemana.

Ibu sudah dilarikan ke rumah sakit di kota. Aku sampai di area rumah sakit dan tergopoh-gopoh turun dari mobil. Menunggu di lift dan mondar mandir karena waktu rasanya lambat sekali. Saat keluar lift aku melihat di ujung lorong, adik adikku sedang termenung. Pada saat itu juga pintu di ujung lorong terbuka lebar sekali, usungan keluar dan di atasnya seseorang terbaring, tertutup sepenuhnya oleh kain putih.

Ini sebabnya aku benci sekali peramal. Aku meminta izin untuk libur beberapa hari. Aku menginap di rumah ibuku sementara hana pulang ke rumah orang tuanya, karena aku bilang padanya, aku sedang butuh waktu sendiri. Aku masih sering melihat ibu mondar mandir di lorong rumah ini. Mengetuk pintu kamar kami satu persatu dan berkata jika makan malam sudah siap. Aku rindu saat saat itu. Di mana pintu pintu kamar kami digedor karena kesiangan masuk sekolah. Di pukuli pakai sebatang lidi karena tidak mengerjakan PR. Wajar saja, karena ibuku adalah seorang guru. Karena hal hal itulah aku mengingat ibu hampir di setiap kegiatanku. Ibu selalu melarang kami bersendawa dengan mulut terbuka. Malam itu saat kami nujuh harian ibu, aku tidak sengaja sendawa sehabis makan. Kepalaku rasanya di pukul dari belakang, entah oleh siapa. Mungkin itu ibu.

Aku masih sering melihat ibu masak di dapur pagi sekali. Menjemur pakaian-pakaian kami, merajut di ruang tamu sambil mendengarkan radio usangnya –aku masih sering melihatnya menata bingkai-bingkai foto pernikahannya dengan ayahku.

Dia perempuan tangguh, ayah meninggal  saat aku berumur dua belas –meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itu aku mesti membantu ibu karena adik-adikku masih sangat kecil. Ibu tetaplah pahlawan bagiku, karena dia yang paling keras berjuang. Aku hanya ingin membalas budi. Kalau aku mesti menjual nyawaku untuk membawanya hidup kembali pasti akan kutukar nyawa ini.

Sepanjang sisa hidupku ini sudah tidak berguna lagi. Tujuanku hanya membahagiakan ibu tapi sekarang itu lenyap begitu saja. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan hampir seratus duapuluh, rasanya hampir terbang. Tapi kemudian aku mengingat hana. Kuinjak rem sedalam dalamnya hingga belakang mobilku terangkat, tepat di depanku –tikungan tajam dan aku selamat.

Setelah kematian ibu, kupikir hidupku bakal semakin kosong tapi itu berubah ketika kedua anakku lahir. Kuberi ia nama mawar dan melati karena mereka berdua perempuan. Anak anakku sungguh lucu tapi ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan yang aneh menurutku untuk ukuran anak kembar. Mawar cenderung lebih cantik dan lucu tapi dia jarang bersuara. Beda dengan melati yang tidak begitu lucu namun sangat rewel dan sangat sering menangis.

Ketika beranjak ke dua belas tahun, mawar benar-benar menjelma menjadi seorang gadis cantik. Namun berbeda jauh dengan sikapnya, dia sering keluar malam tanpa sepengetahuanku. Dia juga sering berbohong dan membangkang. Pernah sekali aku mau menamparnya karena dia membentak dan berkata kotor pada ibunya, kalau saja melati tidak menangkap tanganku –mawar mungkin sudah kena tamparanku.

Ada satu hal yang baru kuingat dari si peramal. Masih ada satu ramalan lagi. Awalnya aku memang tidak begitu percaya, sampai sekarangpun masih. Tapi aku sedikit percaya.

Suatu malam aku menemukan sebuah boneka di perjalanan pulang kerja. Boneka perempuan berkuncir dua. Sesampai di rumah, aku memasukannya ke mesin cuci. Paginya aku terlonjak karena istriku teriak-teriak, dia sedang mencoba menghentikan anak-anakku yang sedang berebut boneka. Setelah kulirik, itu adalah boneka semalam –aku merampasnya. Mawar melompat lompat berusaha menggapai  tapi aku mengangkat boneka itu tinggi-tinggi, melati juga ikut lompat. Tidak biasanya melati begini, dia selalu mengalah yang kutahu. Aku menyuruh mereka diam.

Mawar tampak begitu kesal tapi melati memandangku penuh belas kasih, dia memohon. Mawar memalingkan muka dan menggerutu. Aku memberikan boneka itu pada melati, dia terlihat sangat senang. Sepanjang sisa hari itu melati bermain bersama boneka berkuncir dua itu. Aku amat bahagia melihatnya. Tapi sepanjang hari itu juga aku tidak melihat mawar. Terakhir, dia mengumpat padaku yang tidak memberinya boneka. Membanting pintu di depan wajah hana lalu dia menaiki sepeda entah pergi kemana.

Jam berganti ke hari, kami semakin khawatir dan melapor ke kantor polisi. Hampir semua teman mawar sudah kami hubungi dan hasilnya nihil. Selama beberapa minggu aku tidak bisa konsentrasi bekerja karena memikirkan mawar. Aku sering bermimpi buruk, bangun di tengah malam sambil meneriakan nama ‘Mawar’. Aku sering mendapat mimpi buruk seperti menemukan mawar hanyut di sungai, di mutilasi bahkan di kubur hidup-hidup. Karena pergaulan anak zaman sekarang benar-benar mengkhawatirkan dan seharusnya aku bisa membimbingnya dengan lebih baik lagi.

Sudah dua bulan berlalu sampai seorang polisi bertengger di serambi rumah kami, aku pulang terburu-buru karena melati menelponku. Hana terbaring di balai, melati masih sesenggukan sambil memangku kepala ibunya. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa, polisi itu menunduk dan mulai menuturkan sesuatu padaku. Hanya beberapa kata yang kudengar, selanjutnya cuma bunyi denging panjang –tidak terdengar suara apa-apa lagi. Mawar di temukan OD di sebuah rumah kosong.

Di hari pemakaman mawar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengadzaninya sambil terisak-isak, aku mendengar saat itu burung-burung gagak berkoak. Sampai sore seluruh orang sudah pulang, aku masih bersimpuh di depan makamnya. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Entah kenapa setelah hari itu, aku semakin sering melihat burung gagak. Tadinya kupikir cuma halusinasi. Tapi barusan aku menembak salah satunya, sedang bertengger di pohon ceri. Melati melihatnya dan bertanya “Kenapa ayah menembak burung itu?” begitu lugu dan polos.

Singkatnya semua semakin memburuk. Kenapa bisa? tentu saja bisa. Ada banyak hal datang membahagiakan hidupku. ‘Tapi cukup butuh satu untuk membuatku mati’. Aku pernah mendengar kata-kata itu rasanya, tapi entah di mana. Semua bermulai ketika hana terlihat sering merenung. Aku sangat khawatir tapi beberapa hari kemudian dia kembali normal. Namun dia memanggil melati dengan sebutan ‘Mawar’. Hana semakin sering melakukannya, sampai aku mesti bicara pada melati agar bersedia di panggil mawar sementara waktu.
 
Tahun-tahun berganti dan melati beranjak dewasa. Saat itu acara pesta ulang tahun ke tujuh belasnya. Di depan semua temannya melati di panggil ‘Mawar’. Melati tidak terima dan langsung menyanggah, “Ibu, ini aku Melati! ME-LA-TI!!”. Tiba-tiba raut wajah hana berubah. Dia menjambak melati di depan teman-temannya “Lalu mana Mawarku? mana Mawar?!”. Sepanjang sisa malam itu hanya keheningan. Pesta bubar saat itu juga, hana mengurung diri di kamar. Melati menangis hampir semalaman dan dia terus mengeluh.

“Aku tidak bisa terus melakukan ini, tidak bisa ayah. Sebentar lagi aku akan masuk kuliah, bagaimana jika nanti teman-teman ku datang ke rumah dan ibu...” dia kembali menangis, aku memeluknya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Keesokan paginya aku berangkat kerja, tidak ada koak gagak ataupun langit mendung yang seolah-olah menandakan sial. Namun telponku berdering sekitar pukul 13.00, aku mengangkatnya.

“Maaf bapak sebelumnya jika kami telat memberi tahu. Kejadian ini begitu tiba-tiba dan kami mesti bergegas menuju rumah anda siang tadi...” selebihnya dia bicara panjang lebar mengulur waktu, berusaha menenangkanku –tapi sudahlah, ini telah terjadi.

Melati menelpon ke kantor polisi karena hana berusaha membunuhnya. Melati di tikam berkali-kali dan setelah membunuh melati, hana menggantung dirinya. Aku sudah hancur. Aku berdiri di tepi atap gedung kantorku, angin menghempas dari bawah. Ini akhirnya, ternyata memang benar –aku benci peramal.

...

Dia mencengkram erat tanganku “Bagaimana, apa kamu masih mau memberikan boneka itu padanya?” suara peramal itu begitu lirih dan parau. Aku menggeleng. Dia tersenyum sambil melepas cengkramannya perlahan. Aku tidak menyangka yang barusan itu begitu nyata. Bagaimana jika kali ini uang di kopernya ku ambil saja ya.

Tetanggaku yang meninggal



Beberapa hari lalu, tetangga kami meninggal. Dia perempuan yang tangguh menurutku, karena dia bekerja paruh waktu untuk membantu suaminya yang memang agak pemalas. Tanpa menampik kalau sekarang aku sudah punya istri, aku justru ingin istri seperti itu. Dia meninggal karena serangan jantung di tempat kerjanya. Nama perempuan itu andin.

Aku mulai merasakan ada hal yang tidak beres sejak hari dikuburnya ia. Entah kenapa bunga-bunga di halamannya selalu terlihat segar setelah hari pemakaman, padahal si mantan suaminya yang bajingan itu tidak mungkin menyiraminya. Lalu saat bajingan itu tidak di rumah, aku masih merasakan keberadaan nyonya andin di dalamnya. Mondar-mandir di jendela dapur, dan ketika aku mengerjapkan mata, hal itu menghilang seperti halusinasi.

Beberapa malam ini aku tidak bisa tidur cepat karena memikirkan betapa malangnya perempuan itu. Aku bahkan sempat terbangun di beberapa malam karena seseorang mengetuk pintuku. Ketukan itu di susul lirih panggilan namaku ‘Rian...  Rian...’. Suara yang tidak asing lagi, suara nyonya andin.

Hubunganku dengan nyonya andin memang tidak bisa dibilang biasa. Karena suaminya yang sering keluar dan tidak pulang berhari-hari. Lalu istriku yang juga sering bepergian keluar bersama teman-temannya. Aku jadi sering mengobrol berduaan, kadang-kadang aku mengajak anakku. Kami berbicara kesana kemari dan tahu-tahu sudah sore atau larut.

Sore kemarin aku datang ke acara tujuh hariannya. Kemudian pagi esoknya aku pergi ke makamnya untuk mendoakannya. Tapi anehnya setelah hari itu, punggungku selalu terasa berat. Rasanya ngantuk dan selalu mau tidur atau sekadar merebahkan tubuh.

...

Tidak hanya itu, sikap jodi, anak laki-laki semata wayangku jadi agak aneh. Dia sering berbicara sendiri, awalnya kukira dia sedang bicara dengan bibi desi-pengasuhnya, tapi ternyata dia bicara sendiri. Aku bertengkar hebat dengan nora, istriku tentang masalah ini. Kejadian ini terjadi pasti karena nora terlalu banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman arisannya.

Aku membawa jodi ke psikiater. Dokter itu mengatakan jika jodi mungkin punya seorang teman imajinasi. Teman imajinasinya itu adalah perempuan yang ‘keibuan’ kata jodi, dokter itu mengakhiri penjelasannya. Sudah jelas ini kesalahan nora, dia tidak pernah ada untuk jodi –sekarang semua ini sudah terjadi.

Aku rutin membawa jodi tiap jumat sore ke psikiater. Setelah pertengkaran kami, nora pergi pulang ke rumah ibunya. Tapi tiap malam sejak nora pulang, aku sering mendengar kelontangan di dapur. Kupikir jodi, tapi ia di kamarnya ketika kuperiksa. Aku mendengar suara lirih itu namun tidak dapat kuterka asalnya. Sepertinya dari belakang telingaku.

Dari minggu ke minggu kunjungan ke psikiater, aku jadi semakin tahu siapa teman khayalan jodi –tapi ini benar-benar mustahil. Jodi bilang jika namanya ‘ibu andin’.
“Apalagi yang jodi katakan dok?”

Dokter menggeleng “dia menganggap teman khayalan itu adalah ibunya”.

...

Aku pernah melihat jodi sedang berdiri diam di depan pintu keluar rumah, saat itu pukul sepuluh malam. Dia menggenggam sesuatu yang entah apa itu dan menggumamkan sesuatu. Aku memanggilnya dan jodi sama sekali tidak bergeming. Sampai akhirnya aku menepuk pundaknya. Jodi berbalik, aku tahu sekarang yang dia genggam –sebilah pisau. Matanya begitu kosong.

Jodi semakin sering begitu. Berdiri di depan pintu dan memegang sesuatu. Pertama, pisau sudah ku sembunyikan lalu dia mengambil kikir. Kikir kusembunyikan, dia menggenggam obeng. Lalu kusembunyikan obeng, berikutnya malah dia menggenggam gunting. Akhirnya kusembunyikan segala benda runcing atau tajam.

Hari ini aku mau tahu apalagi yang dia genggam. Tapi sepulang kerja, kamarku begitu berantakan padahal nora hari ini akan pulang. Pintu-pintu lemari terbuka dan laci-laci berserakan. Bahkan brangkasku yang memang tidak dikunci, terbuka. Aku ingat menyimpan apa saja di sana. Uang, perhiasan nora, surat tanah dan pistol...  pistolku tidak ada. Terdengar bunyi bel, itu pasti nora lalu terdengar letupan senjata...

Tidak mungkin ini terjadi.

Di depan tubuh nora yang bersimbah darah, anak itu malah berkata “dia bukan ibuku”.

“Lalu siapa ibumu ha??” aku bersimpuh.

“Ibu andin adalah mamaku. Bukankah ayah menyukainya juga?”.

Mimpi berulang

Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur. Aku bakal tidur jika hari sudah larut. Aku jadi sering ketiduran di kantor. Belakangan ini juga aku mengalami mimpi aneh. Seperti di kejar-kejar sesuatu, tapi aku tidak tahu apa atau siapa itu. Aku hanya dengar nafasku terengah dan suara kaki berdepak di belakangku. Sudah empat hari aku mengalaminya.




Malam pertama, aku berlari di lorong sempit yang lebarnya sedikit lebih lebar dari tubuhku. Bahuku beberapa kali terbentur, menggesek dinding lorong. Aku tidak tahu yang mengejarku. Namun akhirnya aku sampai di ujung lorong dan saat itu aku terbangun. Hari kedua aku berlari di jalanan komplek dan sesuatu terus berkelebatan di samping, melompat dari pagar ke pagar. Sampai akhirnya aku menemui sebuah pohon beringin. Malam ketiga aku meninggalkan pohon beringin dan berlarian di trotoar, anehnya dalam mimpi-mimpi ini selalu saja malam. Aku terbangun ketika melihat sebuah rumah kosong dengan sumur tua di halamannya

Malam keempat aku melihatnya keluar dari sumur tua sebuah rumah kosong, sesuatu yang muncul itu seperti kepala tapi aku tidak bisa melihat jelas –hanya gelap samar. Dia melompat keluar dan aku terjatuh duduk, tak bisa bergerak. Setelahnya aku terbangun dan keringat bersimbah di seluruh tubuh.

Malam ini adalah yang terburuk, barusan aku terbangun karena mimpi itu lagi. Aku melihatnya, dia besar hampir dua meter dan jemarinya ringki panjang. Kulitnya pucat dan banyak lubang menganga di wajah dan lengan telanjangnya. Mulutnya berusaha mengatakan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengar kata-katanya. ‘A u i a a e a i u’ hanya itu gerakan mulut yang bisa aku tangkap. Lalu aku bangkit dan bergegas menuju rumahku, membuka pintunya dan segera masuk ke kamarku.

Di situlah aku terbangun. Aku kembali mengingat mimpi pertamaku di lorong sempit lalu ke mimpi kedua jalanan komplek. Tunggu! aku ingat betul latar mimpiku. Itu jalur setiap kali aku pulang bekerja.

Ada suara ketukan pintu, dia berada di luar kamarku. Aku yang telah menuntunnya ke sini.

Melewati sebuah gang sempit dan jalanan komplek sampai menemui pohon beringin. Berjalan di trotoar hingga menemui  rumah kosong dengan sumur tua –tidak jauh dari situ adalah rumahku.
Tapi tiba-tiba hening, ada sebuah suara serak yang begitu lirih “aku di dalam lemarimu” –tidak salah lagi, ‘a u i a a e a i u’.

Aku jarang...



-Aku jarang mengunci pintu rumah, karena ibu selalu pulang larut dan ayahku tertidur di ruang tamu –berjaga-jaga. Aku seharusnya tidak begitu, sekarang makam ayah dan ibu di kerumuni orang, karena perampok masuk dan membantai mereka –aku beranjak dari makam dan terbang, sesuatu menungguku.



-Aku jarang melongok kolong kasur padahal sering ada decit dari bawah tempat tidurku. Aku sering mendengar seseorang bernafas di telingaku sampai akhirnya aku sadar itu bukan decit bawah kasur, tapi jendelaku yang berkibas karena selalu lupa di tutup.



-Anak tetangga baruku sangat aneh, dia berdiri seharian di depan jendela –menatapi rumah kami, bahkan kadang aku yakin jika anak itu memandangiku. Lalu sore ini mereka berdua datang untuk bertamu ke rumahku, aku bertanya mana anak laki-lakinya –suami istri itu saling berpandangan dan istrinya menangis, anak mereka telah lama meninggal.



-Di kampungku sedang heboh setan kepala buntung, mengejar-ngejar orang yang kebetulan keluar malam. Sampai pada giliranku untuk ronda dan aku ketiduran, di pos itu sudah tidak ada siapa-siapa saat aku bangun –hanya seseorang tanpa kepala yang barusan membangunkanku.

Kakek bilang...



Kakek bilang jika datang bulan ramadhan, semua setan bakal diborgol dan tidak dibiarkan keluar. Tapi hari jumat kemarin, saat pulang tarawih –tidak seperti itu kenyataannya. Jarak masjid ke rumah kakek cukup jauh, sekitar setengah kilometer. Jalanannya adalah setapak tanah yang terkadang banyak lubang di sana-sini –itu sebabnya aku bawa senter. Apalagi kalau sudah turun hujan, kusarankan memakai sepatu bot karena kalian pasti terpeleset di satu-dua lubang yang tergenang air.

Malam itu aku pulang bersama dodi, sahabatku sejak SD. Kiri-kanan kami menjulang pohon-pohon kelapa nan tinggi. Sesekali angin dingin membelai tengkukku, aku mempercepat langkah kalau sudah begitu. Pertama ada suara gemerisik entah dari mana, aku menoleh kiri-kanan –tidak ada apapun. Tapi dodi terpaku, dia menyorot salah satu pohon kelapa dengan senternya dari bawah ke atas –giginya bergemelutuk. Pohon kelapa itu bergoyang-goyang, daun-daunnya yang hitam dan lurus seakan tertiup angin malam. Sampai akhirnya aku sadar, itu bukan daun kelapa –itu rambut. Aku melangkah mundur dan menyeret dodi pelan-pelan. Tapi tubuhnya begitu berat dan kakiku gemetar.

Tingginya hampir empat meter, tubuhnya begitu ramping dan putih pucat seperti pohon kelapa. Dia masih bergoyang-goyang entah apa maksudnya. Sampai akhirnya sesuatu bergedebuk jatuh. Tadinya kupikir batu atau buah kelapa namun ketika kusorot dengan senter, wajah itu menyeringai. Aku lari sekencang yang aku bisa, meninggalkan dodi yang akhirnya pingsan.

Paginya kakek baru memberi tahuku jika yang dia maksud setan adalah yang menggoda manusia. Kalau yang semalam itu adalah jin, dia hanya mengganggu manusia. Lalu yang semalam, kakek bilang desa ini sudah tidak punya lagi pohon kelapa satupun

Gema...



Malam itu pukul tiga dini hari, hampir ke empat sebenarnya. Pak hansip membawa pentungannya, memukul-mukul tiang agar orang orang tahu jika dia sedang berjaga. Di sepanjang jalan itu sepi. Dia pindah dari tiang satu ke tiang lain tiap sekitar sepuluh menit. Dia sempat bergidik  setelah memperhatikan pohon di salah satu rumah warga, yaitu pak hartono. Dia di kenal juragan nangka. Pak hartono punya perkebunan nangka sekitar dua hektar dan salah satu pohonnya dia tanam di rumah. Pohon itu sekarang besar dan cukup tinggi, daun rimbun dan buahnya sudah ranum. Tapi bukan itu yang pak hansip perhatikan. Kalau dia tidak salah lihat, barusan ada sesuatu bertengger di dekat buah buah itu menggantung. Namun pak hansip mengindahkannya, ‘mungkin hanya kucing’ pikirnya. Jadi dia buru buru jalan. Di perkampungan, keadaan tidak seperti kota yang setiap kiri dan kanan ada rumah penduduk. Di sini, rumah penduduk hanya tiap sekitar dua puluh meteran saja dan lahan-lahan kosong tersebut biasanya jadi lapangan atau kebun terbengkalai yang di tumbuhi banyak tanaman perdu.

Di siang hari mungkin tempat-tempat itu terlihat biasa. Tapi sekarang, pak hansip cuma bisa lihat area yang diterangi oleh lampu jalan saja, selebihnya gelap gulita. Lalu dia sampai di tikungan panjang, di mana ada sebuah rumah kosong yang konon kata orang-orang penghuninya mati gantung diri. Dia kembali bergidik dan agak berlari ketika menuju tiang lampu berikutnya. Saat dia mengetuk tiang dengan pentungan, dia seperti mendengar gemanya ‘tung-tung-tung’ tapi agak samar. Lalu dia kembali mengetuknya dan gema itu semakin jelas. Dia menghela nafas “Cuma gema”.

Pak hansip melanjutkan tugas. Di sepanjang tugasnya dia selalu mendengar gema, semakin ke sini terasa begitu dekat dan jelas. Ketika dia menoleh untuk memastikan, tidak ada seorangpun yang mengikuti di belakang, kiri kanannya lapangan yang luas milik Pak Haji Kodir –sangat gelap dan tidak mungkin ada sesuatu yang berani sembunyi di sana. Pak hansip kembali mengetuk tiang ‘tung-tung-tung’. Tapi dia mendengar ‘gemanya’ begitu dekat, asalnya seperti dari tiang sebelumnya yang berada sekitar duapuluhlima meteran dari sini. Dia berlari, tidak menoleh lagi. Menurutnya ini saatnya pulang ke pos. Dia berniat memutari kampung untuk sampai ke pos. Pak hansip bahkan sudah lupa tugasnya untuk mengetuk-ngetuk tiang. Namun, gema itu terus menerus berbunyi ‘tung-tung-tung, tung-tung-tung’ perlahan semakin jelas. Di sepanjang ia berlari, gema itu terus menerus berbunyi.

Pak hansip berlari sekencang dia bisa, karena kondisi tubuhnya masih lumayan bugar jadi dia bertahan cukup lama sampai akhirnya melihat sebuah pabrik besar nan gelap. Pabrik terabaikan yang dulu pernah terjadi kebakaran, ratusan karyawannya meninggal –terbakar. Pak hansip masih berlari dan sekarang semakin kencang karena suara gema itu semakin jelas dan banyak, padahal dia tidak mengetuk-ngetuk tiang. Suara gema itu begitu jelas dan banyak sekali sehingga dia berhenti berlari, asal suaranya bukan dari belakang –tapi dari tiang di depannya. Suara gema itu seperti tidak hanya dipukul satu orang saja tapi ada puluhan orang. Pak hansip hendak berbalik arah ketika dia melihat banyak sosok datang, hitam-hitam seperti ratusan orang yang terbakar. Ada sosok yang lehernya di lilit tambang karena mati gantung diri dan sesosok perempuan berbaju kurung putih si penunggu pohon nangka. Suara-suara gema itu semakin jelas karena di pukul dari tiang di dekatnya.

‘Trung-tung-tung, trung-tung-tung, trung-tung…’

Ternyata mereka mengikuti pak hansip sepanjang malam itu.

Keesokan harinya pak hansip di temukan tertidur di pos nya dan kemarin malam mungkin hari terakhirnya jadi hansip, karena dia mau bekerja di tempat lain.

 
biz.